1 februari 2009
secangkir teh hangat menjadi satu-satunya temanku pada malam itu. layar komputer di depanku masih menyala, masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. sementara orang lain terlelap, aku terbangun.
ada satu teman lagi yang menemaniku dari seberang sana. itu adalah dia. kami berdua terhubung dengan sebuah jaringan maya yang tidak terlihat. kami hanya membicarakan hal yang tidak penting. hal-hal yang biasa. sesuatu yang mungkin tidak ingin kamu ketahui.
suatu ketika, ia bertanya kepadaku. pernahkah kamu bermimpi? katanya.
tanpa pikir panjang aku menjawab, tentu saja. setiap orang pasti pernah bermimpi. mimpi kan bunga tidur.
ia hanya tertawa.
lho, apa yang salah? yang aku bilang tadi itu benar, kan? aku memprotes.
yang aku maksud itu, katanya, impian kamu. cita-cita.
aku tidak membalas kata-katanya barusan. impianku? cita-cita? apa ya? waktu kecil, aku punya banyak cita-cita. ingin jadi ini, ingin jadi itu. ingin pergi ke sana, ingin pergi ke sini. semua pikiran itu menghilang seiring berjalannya waktu. sekarang aku terlalu memikirkan kehidupan di alam nyata. mimpi? aku terlalu sibuk untuk memikirkan hal sepele seperti itu.
atau sepertinya aku tidak punya mimpi.
meski tidak melihat, aku bisa merasakan ia menatapku dengan aneh. keningnya berkerut, kedua matanya menyorot tajam padaku.
masa? jawabnya. tadi kamu bilang setiap orang punya mimpi.
aku berpikir sejenak, lalu mengetik balasan.
tapi pada kenyataannya aku tidak punya mimpi. sampai kamu menanyakannya, aku sama sekali tidak pernah memikirkan cita-cita. aku sibuk.
oh. sahutnya singkat. kasihan kamu. terlalu bergantung pada realita.
teh yang kuteguk terasa dingin di tenggorokan. ya, dia benar. aku terlalu sibuk memikirkan pekerjaan dan hidup di depanku. aku terlalu bergantung pada realita. dan dengan mudahnya kenyataan-kenyataan itu memusnahkan cita-citaku. semudah aku menghabiskan teh ini.
aku meletakkan cangkir teh dan kembali mengetik.
aku terlalu takut mengikuti mimpi-mimpi itu. aku takut mereka akan berbalik dan memakanku sampai habis.
atau mungkin tidak, balasnya. yang penting kamu punya tameng perlindungan agar mereka tidak menyerangmu.
apa?
realita...
aku mengerutkan kening sejenak. sedetik kemudian aku tertawa.
bagaimana mungkin aku harus menggunakan realita untuk melindungi diri dari mimpi? tadi kamu bilang aku terlalu bergantung pada realita.
memang, katanya kalem. tapi bukan berarti hidup kita harus selamanya diatur oleh mimpi kan? di kala kita dibuat sedih oleh mimpi, realita yang memotivasi kita untuk kembali bangun. perjalanan kita masih jauh...
oh.
terjadi keheningan yang lama di antara kami.
di saat aku mulai terbiasa, ia memecahkannya.
aku harus pergi.
ke mana? tanyaku.
mengejar mimpi.
kali ini kami berdua tertawa bersama.
ia pun pergi. akhirnya aku hanya sendirian di sini. bersama mimpi dan realita yang berada di belakangku.
dan teh yang kuminum tadi, kini cangkirnya telah kosong.
secangkir teh hangat menjadi satu-satunya temanku pada malam itu. layar komputer di depanku masih menyala, masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. sementara orang lain terlelap, aku terbangun.
ada satu teman lagi yang menemaniku dari seberang sana. itu adalah dia. kami berdua terhubung dengan sebuah jaringan maya yang tidak terlihat. kami hanya membicarakan hal yang tidak penting. hal-hal yang biasa. sesuatu yang mungkin tidak ingin kamu ketahui.
suatu ketika, ia bertanya kepadaku. pernahkah kamu bermimpi? katanya.
tanpa pikir panjang aku menjawab, tentu saja. setiap orang pasti pernah bermimpi. mimpi kan bunga tidur.
ia hanya tertawa.
lho, apa yang salah? yang aku bilang tadi itu benar, kan? aku memprotes.
yang aku maksud itu, katanya, impian kamu. cita-cita.
aku tidak membalas kata-katanya barusan. impianku? cita-cita? apa ya? waktu kecil, aku punya banyak cita-cita. ingin jadi ini, ingin jadi itu. ingin pergi ke sana, ingin pergi ke sini. semua pikiran itu menghilang seiring berjalannya waktu. sekarang aku terlalu memikirkan kehidupan di alam nyata. mimpi? aku terlalu sibuk untuk memikirkan hal sepele seperti itu.
atau sepertinya aku tidak punya mimpi.
meski tidak melihat, aku bisa merasakan ia menatapku dengan aneh. keningnya berkerut, kedua matanya menyorot tajam padaku.
masa? jawabnya. tadi kamu bilang setiap orang punya mimpi.
aku berpikir sejenak, lalu mengetik balasan.
tapi pada kenyataannya aku tidak punya mimpi. sampai kamu menanyakannya, aku sama sekali tidak pernah memikirkan cita-cita. aku sibuk.
oh. sahutnya singkat. kasihan kamu. terlalu bergantung pada realita.
teh yang kuteguk terasa dingin di tenggorokan. ya, dia benar. aku terlalu sibuk memikirkan pekerjaan dan hidup di depanku. aku terlalu bergantung pada realita. dan dengan mudahnya kenyataan-kenyataan itu memusnahkan cita-citaku. semudah aku menghabiskan teh ini.
aku meletakkan cangkir teh dan kembali mengetik.
aku terlalu takut mengikuti mimpi-mimpi itu. aku takut mereka akan berbalik dan memakanku sampai habis.
atau mungkin tidak, balasnya. yang penting kamu punya tameng perlindungan agar mereka tidak menyerangmu.
apa?
realita...
aku mengerutkan kening sejenak. sedetik kemudian aku tertawa.
bagaimana mungkin aku harus menggunakan realita untuk melindungi diri dari mimpi? tadi kamu bilang aku terlalu bergantung pada realita.
memang, katanya kalem. tapi bukan berarti hidup kita harus selamanya diatur oleh mimpi kan? di kala kita dibuat sedih oleh mimpi, realita yang memotivasi kita untuk kembali bangun. perjalanan kita masih jauh...
oh.
terjadi keheningan yang lama di antara kami.
di saat aku mulai terbiasa, ia memecahkannya.
aku harus pergi.
ke mana? tanyaku.
mengejar mimpi.
kali ini kami berdua tertawa bersama.
ia pun pergi. akhirnya aku hanya sendirian di sini. bersama mimpi dan realita yang berada di belakangku.
dan teh yang kuminum tadi, kini cangkirnya telah kosong.
* * *