Sunday, June 20, 2010

The Alternate Plot

gue nulis post ini karena terinspirasi dari salah satu scene di film The Curious Case of Benjamin Button. *di samping itu karena gue kurang kerjaan juga sih*

oke, begini ceritanya.

awalnya gue diberi pilihan buat nerusin SMA di malang atau di mater dei. karena gue paling males tinggal di asrama, maka gue milih buat ngelanjutin di mater dei. di sana gue ketemu seseorang yang (gue pikir) merupakan the one buat gue. tapi setelah gue jalani selama beberapa waktu, dia bukan orang yang tepat buat gue.

suatu hari setelah katekisasi, gue dan anak-anak ditawarin main oratorium buat kebaktian paskah di gereja. gue dan beberapa temen berniat untuk ikutan. di kegiatan itu gue ketemu dengan orang lain lagi, yang gue percaya adalah the one sampe sekarang.

sekitar 2 minggu setelah itu, masih ada tawaran main drama bareng jemaat GPIB Effatha. gue sempet ragu karena temen sejawat gue gak ada yang ikutan, tapi akhirnya gue memutuskan buat nekat ngambil tawaran itu. selama latihan, gue dapet temen baru dan punya kesempatan buat lebih akrab sama the one gue yang sekarang.

sewaktu pentas, karena adanya kesalahan teknis, muka gue ketimpa kayu salib sehingga satu gigi depan gue harus patah sampe sepertiganya. sisi baiknya, gue dapet perhatian penuh dari orang itu—bahkan dikasih karangan bunga segala.

lalu bagaimana kalau jalan ceritanya diubah?

seandainya gue memilih untuk nerusin SMA di malang, mungkin gue akan terhindar dari peristiwa yang mengakibatkan gigi gue patah. tapi di sisi lain, gue nggak akan bertemu dengan seseorang itu di mater dei. gue juga nggak akan bisa ikut katekisasi di GKI pamulang yang berarti gue nggak akan ikut oratorium paskah.
dan karena gue nggak ikut oratorium, otomatis gue nggak bakalan ketemu dengan seseorang yang sekarang gue percaya sebagai the one, dan gue juga nggak akan ikut drama paskah di Effatha, yang juga berarti gue gak bakalan ketemu temen-temen baru dari sana. semuanya akan berbeda.
dan, oh iya, karena gue nggak ketemu dengan the one gue itu, gue tentu nggak akan peduli kalo dia bakal ngasih bunga atau perhatian penuh ke gue, karena saat itu gue pasti menemukan orang lain.

setelah gue baca ulang pengandaian di atas, bisa jadi pilihan gue untuk nerusin sekolah di mater dei instead of malang adalah takdir. tapi gue ragu.


bukankah kita sendiri yang nentuin pilihan-pilihan hidup kita?
dan sebenernya, apa yang membuat suatu rangkaian peristiwa dianggap sebagai takdir?

"From then on I knew... God doesn't make the world this way. We do." — Rorschach