kira-kira setahun yang lalu, gue sempet ikutan lomba bikin cerpen di sekolah. lumayan dapet juara 3, hadiahnya 3 buku novel mini (yang gue asumsikan modalnya cuma 50 ribuan. tau gitu mending dapet mentahnya aja, ya gak?). judul cerpennya Pensil Mekanik. kenapa pensil mekanik? silakan scroll down untuk mencari tahu.
Pensil Mekanik
Donny baru saja putus dengan Tabitha.
Teman-teman mereka pasti tidak akan percaya begitu saja. Bagaimana tidak: mereka sudah berpacaran selama kurang-lebih 6 bulan, dan selalu terlihat akur. Tabitha dan Donny yang sama-sama memiliki sifat perhatian dan penyayang, apalagi didukung dengan penampilan fisik mereka yang bisa dibilang mendekati sempurna. Orang-orang berpikir pasangan seperti itu pasti akan berjalan dengan mulus-mulus saja.
Ternyata mereka salah.
Nyatanya, mereka putus—lebih tepatnya, Donny yang memutuskan hubungan itu. Maka semua hujatan dan sindiran ditumpahkan padanya. Sementara segala empati dan kalimat-kalimat penenang sejenis "Kamu-yang-tabah-ya" tentu saja didapatkan oleh Tabitha.
Dua hari setelah kejadian tersebut, ketika seisi kelas XIIA2 sedang sibuk mencatat rumus reaksi kimia, Adit, sahabat baik Donny, menanyakan alasan mengapa ia memutuskan Tabitha. Pertanyaan basi.
"Lo kenapa sih mutusin Bitha? Perasaan selama ini lo berdua adem-adem aja dah."
"Itu dia alasannya," sahut Donny enteng.
"Itu? Maksudnya, lo bosen sama dia?" Adit menaikkan nada bicaranya.
"Bukan, bukan. Bukan bosen juga sih..." Donny mengacak-acak rambut cepaknya. "Gimana ya, gue ngerasa hubungan gue sama dia selama 6 bulan ini datar-datar aja. Gak asik banget."
Adit menggelengkan kepalanya. "Ckckck, wahh. Kaco nih anak. Masa cuma gara-gara itu, lo sampe bela-belain putus, Don? Sama seorang Tabitha! Sakit lo," ia menuding temannya itu.
Donny memutar-mutar pensil mekaniknya sambil menatap lurus pada lembar catatan kimianya yang putih bersih. "Ahh lo mah seumur hidup juga gak bakalan ngerti omongan gue, Dit! Pacaran aja belom pernah."
"Sialan lo," tetapi Adit tertawa saat mengatakannya.
Donny masih memainkan pensilnya, tanpa berniat untuk mencatat sedikitpun. Ia iseng menarik tangkai pensilnya hingga tanpa sengaja mematahkannya. Ia kaget.
"Yah. Patah," hanya itu kata-kata yang keluar dari mulutnya.
"Apaan yang patah?" Adit bertanya sambil sesekali melihat papan tulis.
"Pensil gue. Dikasih Bitha nih waktu itu. Gue masih inget banget."
"Hahahaha. Nasib lo Don, Don."
Donny hanya tersenyum kecil, lalu menyimpan patahan pensil itu di sakunya. Nanti bakalan gue benerin, pikirnya. Toh, menurutnya itu hanyalah sebatang pensil mekanik tak berarti. Hanya itu.
* * *
Satu minggu berlalu semenjak obrolan Donny dan Adit tempo hari di kelas kimia. Lama-kelamaan, frekuensi topik "Donny-Bitha putus" semakin mengecil. Yah, mungkin mereka telah beralih ke gosip lain yang lebih menarik. Baik Tabitha maupun Donny tidak keberatan dengan hal itu, mereka bahkan tidak memikirkannya sama sekali.
"Bith, lo ke kantin gak?"
Tabitha menoleh ke arah teman sekelasnya, Galuh. "Iya. Kenapa? Mau nitip?"
Galuh menggeleng. "Enggak, enggak. Gue mau ikut deh kalo gitu, sekalian mau nyari orang."
Mereka berjalan beriringan menuju kantin yang ramai oleh anak-anak berseragam putih abu-abu. Di sana, mereka berpapasan dengan Donny.
"Hei, Don," sapa Tabitha.
"Hei," balas Donny singkat. Lalu ia berjalan memasuki gedung sekolah sambil membawa sekotak nasi goreng.
Setelah urusan membeli makanan beres, Galuh dan Tabitha menghampiri dua orang teman mereka di kantin, Stella dan Andari. Mereka saling menyapa, lalu melanjutkan obrolan.
"Tadi kita ketemu Donny pas mau beli makanan. Iya kan Bith?" ujar Galuh pada kedua temannya. Tabitha mengangguk mengiyakan.
"Trus?" sahut Andari cuek sambil menyuap nasi uduk ke mulutnya.
"Trus yaa, Donny tuh kayak sombong banget sekarang sama kita! Bitha nyapa dia baik-baik tapi jawabannya cuma 'hai', itupun gak pake senyum! Duluu aja, pas masih sama Bitha, baek banget anaknya. Eh sekarang jadi nyolot gitu," Galuh melanjutkan ceritanya dengan berapi-api.
"Ya udahlah, Gal... gak usah dibahas juga," Tabitha berusaha menghentikan pembicaraan sambil tersenyum. Galuh tidak terima. "Emangnya lo gak sakit hati, apa, digituin?" tanyanya.
Tabitha menghela napas panjang, sengaja mendramatisir suasana. "Anehnya, gue sama sekali gak ngerasain apa-apa tuh. Sakit hati pun enggak."
"Ngg, Bith, gue mau nanya deh. Tapi gue gak bermaksud apa-apa loh ya," celetuk Stella.
Tabitha mengangkat alis. "Kenapa, Stel?"
"Uhm... lo pernah kepikiran gak untuk balikan lagi sama dia?"
"Dia siapa? Donny?"
"Iyalah... siapa lagi?"
Tabitha tertawa. "Ooh hahaha. Kirain mau nanya apaan. Dulu sih, sekitar tiga hari setelah putus, gue masih ada pikiran buat balik sama dia."
Andari meremas kertas cokelat bekas pembungkus nasi uduknya menjadi bola, lalu membetulkan posisi duduknya. Ia menjadi semakin tertarik dengan pembicaraan ini. "Kalo sekarang?" tanyanya.
"Sekarang? Hmmm... gimana yah, jadi bingung. Hehe," Tabitha nyengir.
"Lah, kok malah bingung. Bilang aja 'iya' ato 'enggak' gitu, kok susah-susah," Stella mengejar.
"Gak segampang itu, Stel..."
"Ya udah, gini aja deh. Lo masih sayang nggak sama Donny?" kali ini giliran Galuh yang bertanya. Tabitha menghela napas lagi.
"Kalo ditanya soal itu sih, jawaban gue iya—iya, gue masih sayang sama dia. Tapi kalo ditanya soal apakah gue mau balik ato enggak, gue nggak tau. Mungkin gue memang masih ada keinginan untuk balik lagi ke kondisi kayak dulu. Tapi itu kan tergantung dia juga, gue gak bisa ngikutin keinginan sepihak.
Kesimpulannya, status gue dan Donny sekarang ini cuma temen aja."
Ketiga temannya mendengarkan Tabitha dengan saksama, membuat dirinya jadi agak salah tingkah. "Sori sori, kebanyakan ngomong ya gue?"
"Tumben lo ngomongnya dewasa banget, Bith," ledek Andari. Anak-anak tertawa.
"Tapi bener juga tuh," timpal Galuh. "Gue sama cowok gue juga pernah gitu pas putus. Tapi akhirnya nyambung lagi sih... setelah gue gantungin beberapa minggu. Emangnya enak digantungin."
"Jadi lo belom mau balikan sama dia, Bith, meskipun lo udah jelas-jelas sayang sama dia?" tanya Stella lagi, tidak menggubris pernyataan Galuh.
Tabitha tersenyum. "Mungkin nggak sekarang kali, ya," jawabnya, kalem.
"Kalo misalnya dia yang ngajak balikan?"
Senyuman Tabitha menghilang.
"Masa?"
* * *
Sekarang, mari kita kembali pada Donny. Ia menghabiskan waktu dengan memainkan PSP-nya sampai nyaris larut malam. Sesekali ia mengecek layar ponselnya, tidak ada pesan baru—apalagi dari Tabitha. Meski mereka masih berteman, komunikasi semakin jarang dilakukan di antara mereka.
Donny meletakkan PSP-nya disembarang tempat, meraih ponselnya, dan menelepon salah satu nama yang tertera di phonebook-nya. Nama Tabitha.
Sekitar 30 detik kemudian, teleponnya diangkat.
"Halo."
"Uhh hai. Bitha?" Donny memastikan ia menelepon nomor yang benar.
"Iya, gue sendiri. Ini Donny ya?"
"Iya."
Hening. Lima detik. Duapuluh detik. Perang batin.
"Hei."
"Apa?"
"Kok malah jadi diem sih?"
Terdengar suara tawa kecil dari ujung telepon. Donny hafal betul suara itu. Ia ingat pernah tertawa bersamanya...
"Hehe, maaf maaf. Hmm lo lagi ngapain, Bith?" lamunannya terpecah. Ia memutuskan untuk memulai pembicaraan.
"Lagi ngerjain laporan. Kenapa?"
"Oh... nggak papa, nanya aja. Gue ganggu ya?"
"Sama sekali enggak kok, Don. Lumayan, gue jadi ada temen ngobrol."
"Hmm gitu ya."
Hening lagi.
"Donny?"
"Hmm?" Donny merespon dengan singkat.
"Gue mau nanya, boleh? Tapi lo harus janji nggak bakal marah."
"Gue nggak bakal marah kok, emangnya mau nanya apa?"
"Hmm... kita nggak bakal mungkin balikan kayak dulu ya?"
Dahinya berkerut. "Apa sih... ngomongnya jangan kayak gitu, kenapa."
"Kayak gitu gimana?"
"Yaa jangan pake kata nggak mungkin..."
"Emangnya lo mau balikan?"
Donny terdiam sejenak. "...nggak tau. Kalo lo?"
Tabitha hanya tertawa. "Kok malah nggak tau sih. Ya udah ah, gue mau tidur. Ngantuk."
"Eeeeehh tunggu dulu, tunggu dulu. Besok mau ketemuan di perpustakaan? Ada yang mau gue omongin."
"Mau-mau aja. Jam keberapa?"
"Pas pulang aja gimana? Perpus pasti sepi pas jam pulang."
"Oke... atur aja."
"Hmm ya udah kalo lo ngantuk. Istirahat gih."
"OK. Bye, Donny."
"Bye."
Donny melirik pensil mekanik yang patah di atas meja belajarnya. Diambilnya pensil itu, lalu ia mengambil power glue dari lemari. Dengan segera ia menempel patahannya, dan dalam sekejap, pensil itu terlihat nyaris sama seperti semula.
Ia tersenyum puas dengan hasil pekerjaannya.
* * *
Pukul 14.18. Donny menunggu di perpustakaan yang sepi itu dengan gelisah. Untung saja Tabitha datang tepat waktu. Mereka saling menyapa, Tabitha duduk di depan Donny, dan Donny memulai pembicaraan.
"Bith," ujarnya.
"Ya, Don?"
"Gue... gue mau ngajak lo balikan."
Tabitha tidak bereaksi.
"Karena?"
"Karena gue ngerasa beda aja sejak kita putus. Gue mau memperbaiki semuanya," jawab Donny terus terang. Sejujurnya, ia sendiri tidak tahu alasannya.
Tabitha tidak menunjukkan perubahan raut wajah. "Karena itu?"
Donny semakin ciut. "...iya. Gimana?"
Tabitha diam. Suasana perpustakaan menjadi semakin sunyi. Ia masih menatap Donny, lalu akhirnya berkata,
"Don, hmm, sori banget ya. Gue hargai usaha lo untuk ngutarain ini semua ke gue. Cuma... gue nggak bisa ngasih jawaban sekarang."
"Kenapa? Bukannya dulu lo sempet ngajak gue balik?"
"Dulu iya. Tapi sekarang... gue bingung mau jawab apa. Bayangin aja deh, kita putus nggak ada sebulan, eh lo tiba-tiba minta balik. Kesannya tuh lo nggak serius, tau nggak?"
Donny tidak membantah. Ia terus membiarkan Tabitha berbicara.
"Donny..." nada bicara Tabitha melunak. "Seandainya aja dulu lo mau ngejalanin hubungan kita dengan serius, kita bisa aja awet sampe beberapa tahun ke depan. Tapi kalo lo masih belom bisa berhubungan yang serius... sebaiknya jangan dulu deh. Ya?"
"Tapi," Donny berkilah. "Waktu itu gue mutusin lo kan bukannya tanpa alasan."
"Ada alasannya? Karena lo udah nggak ada rasa lagi? Alasan yang itu?"
"Lo pernah mikir gak sih perasaan gue selama kita putus?" tantang Donny.
"Waktu itu lo pernah mikir nggak, apa yang bakal gue rasain ketika lo mutusin gue?" Tabitha balik bertanya.
Donny tidak menjawab, ia justru memandang lurus pada meja kaca di depannya.
Tabitha hanya menatap Donny dengan maklum.
"Gak bisa jawab kan lo?" tanyanya.
"Ya udah, kalo gitu gue balik duluan ya."
Tabitha sudah sampai di pintu perpustakaan ketika akhirnya Donny mengajukan satu pertanyaan, "Berarti jawabannya enggak?"
Donny menengok ke belakang, ke arah Tabitha. Ia menggeleng singkat sambil tersenyum kecil.
"Nggak sekarang."
Dan setelah itu Tabitha benar-benar pergi.
* * *
Sore harinya, Donny memutuskan untuk mengerjakan PR kimia yang diberikan tiga hari yang lalu. Ia mencari-cari alat tulis di dalam tas ranselnya dan tangannya menyentuh sesuatu—pensil mekanik itu. Ia meraihnya.
Mungkin hal ini terjadi memang karena kesalahan Donny. Ia terlalu egois, lebih memilih untuk mengikuti logikanya daripada kata hatinya. Akibatnya, pihak yang tidak bersalah—dalam hal ini, Tabitha, yang terkena getah dari sifat egois Donny. Kalo aja gue mau serius, pikirnya, mungkin kejadiannya nggak akan seperti sekarang.
Hari itu ia telah mempelajari sesuatu; bahwa memperbaiki hubungan dengan seseorang, tidak semudah memperbaiki pensil mekanik yang patah.
Butuh waktu yang lama.
Donny memandang pensil tersebut sambil mencelos di dalam hati, kemudian menyimpannya kembali ke dalam tasnya.
* * *
gimanaaaa? capek ya bacanya? hahahaha emangnya enak. makanya budayakan membaca dong, jangan internetan mulu kerjaannya ;) *padahal sendirinya juga gitu*