kelas editing dua minggu yang lalu memberi semacam pencerahan buat saya.
saat itu kami membahas gaya editing klasik. contoh yang dipakai adalah adegan pertama film The Birth of a Nation karya D.W Griffith. setelah itu, mas sentot (nama dosennya) membedah adegan tersebut, shot demi shot.
"ada yang udah nonton film ini sampe habis?" tanyanya kemudian.
seisi kelas mendadak sunyi.
sebenernya kami semua familiar dengan film itu. kami udah pernah dapat tugas untuk nonton sekaligus menganalisisnya pas semester satu. tapi karena pada dasarnya kami merasa film bisu yang durasinya berjam-jam itu membosankan, kami pun ga nonton film itu sampe kelar dan mencari sinopsisnya di wikipedia.
wajah mas sentot menunjukkan penyesalan. sekali lagi ia memutarkan cuplikan film tersebut. "coba kalian perhatikan," katanya. "di tahun segitu, Griffith udah memakai tipe-tipe shot, sementara di era sebelumnya shotnya belum bervariasi. film dia ini menginspirasi banyak filmmaker modern!" (mungkin kalimat yang sebenernya tidak seperti itu. I'm just paraphrasing)
"katanya kalian anak film. tapi disuruh nonton film ini aja kalian males."
dan saat itulah, saya merasa abis dapet pukulan telak di belakang kepala saya.
berlebihan, memang. tapi kenyataannya begitu.
padahal ngakunya anak film. tapi pas disuruh mempelajari sejarah perfilman malah ogah-ogahan. padahal belajar perfilman itu bukan sekadar mengetahui teknik pembuatan film yang benar. kalo cuma itu, semua orang juga bisa membuat film tanpa harus sekolah perfilman dulu.
belajar perfilman itu termasuk mempelajari sekaligus mengapresiasi perjalanan sejarah dan pelopor-pelopornya, supaya kita bisa lebih menghargai industri ini (yang sayangnya belum terjadi di Indonesia—but we're on our way!), dan membuat karya yang baik juga tentunya.
makanya saya memilih kuliah perfilman di IKJ, karena di sini kami ga cuma belajar teknik, tapi juga belajar mengapresiasi lewat belajar sejarah. saya inget pernah nulis itu di esai saya, tapi pada kenyataannya saya sendiri ga mempraktekkannya. saya jadi malu sendiri.
di pertemuan berikutnya, mas sentot memutarkan cuplikan film Terminator sebagai contoh lain. "kalo film ini, pasti semuanya udah pernah nonton," ujarnya. kami hanya tertawa meringis.
dear Griffith, now I salute you.
saat itu kami membahas gaya editing klasik. contoh yang dipakai adalah adegan pertama film The Birth of a Nation karya D.W Griffith. setelah itu, mas sentot (nama dosennya) membedah adegan tersebut, shot demi shot.
"ada yang udah nonton film ini sampe habis?" tanyanya kemudian.
seisi kelas mendadak sunyi.
sebenernya kami semua familiar dengan film itu. kami udah pernah dapat tugas untuk nonton sekaligus menganalisisnya pas semester satu. tapi karena pada dasarnya kami merasa film bisu yang durasinya berjam-jam itu membosankan, kami pun ga nonton film itu sampe kelar dan mencari sinopsisnya di wikipedia.
wajah mas sentot menunjukkan penyesalan. sekali lagi ia memutarkan cuplikan film tersebut. "coba kalian perhatikan," katanya. "di tahun segitu, Griffith udah memakai tipe-tipe shot, sementara di era sebelumnya shotnya belum bervariasi. film dia ini menginspirasi banyak filmmaker modern!" (mungkin kalimat yang sebenernya tidak seperti itu. I'm just paraphrasing)
"katanya kalian anak film. tapi disuruh nonton film ini aja kalian males."
dan saat itulah, saya merasa abis dapet pukulan telak di belakang kepala saya.
berlebihan, memang. tapi kenyataannya begitu.
padahal ngakunya anak film. tapi pas disuruh mempelajari sejarah perfilman malah ogah-ogahan. padahal belajar perfilman itu bukan sekadar mengetahui teknik pembuatan film yang benar. kalo cuma itu, semua orang juga bisa membuat film tanpa harus sekolah perfilman dulu.
belajar perfilman itu termasuk mempelajari sekaligus mengapresiasi perjalanan sejarah dan pelopor-pelopornya, supaya kita bisa lebih menghargai industri ini (yang sayangnya belum terjadi di Indonesia—but we're on our way!), dan membuat karya yang baik juga tentunya.
makanya saya memilih kuliah perfilman di IKJ, karena di sini kami ga cuma belajar teknik, tapi juga belajar mengapresiasi lewat belajar sejarah. saya inget pernah nulis itu di esai saya, tapi pada kenyataannya saya sendiri ga mempraktekkannya. saya jadi malu sendiri.
di pertemuan berikutnya, mas sentot memutarkan cuplikan film Terminator sebagai contoh lain. "kalo film ini, pasti semuanya udah pernah nonton," ujarnya. kami hanya tertawa meringis.
dear Griffith, now I salute you.