orang itu tinggal di ujung jalan. ia sudah tinggal di perumahan ini lebih dulu, jauh sebelum saya pindah ke tempat ini.
atap rumahnya rata. pagar rumahnya terbuat dari kayu cemara yang dicat merah bata. dinding rumahnya berwarna putih dengan cipratan cat warna-warni. rumputnya hijau dan terpangkas rapi, dan ada jalan setapak dari bebatuan. lalu terdapat sebuah bangku panjang di terasnya.
tuan rumah antik, begitu saya menyebutnya. selain rumahnya, tingkah lakunya juga cukup antik.
saya jarang melewati rumahnya di masa-masa saya baru pindah. ketika saya melewati rumahnya pada suatu sore, ia sedang duduk sendirian di teras, sibuk bermain gitar. ada rokok yang terselip di bibirnya.
petikan gitar masih mengalun pelan bahkan setelah saya melewati rumah itu. nada-nada yang menyenangkan namun terdengar sepi.
sejak saat itu, saya sering menyempatkan diri untuk melewati rumahnya dalam perjalanan pulang ke rumah saya. suatu kali ia pernah mengundang saya ke rumahnya, karena menurutnya saya adalah wajah yang baru dilihatnya.
ia mempersilakan saya duduk di ruang tamu. dengan penuh kecanggungan, mata saya berkeliling untuk memerhatikan caranya menata ruangan. catnya berwarna jingga. ada banyak sekali perabotan tua di situ.
kami mengobrol sebentar. ia sering tersenyum di sela-sela obrolan kami, sebuah senyuman yang lucu. berbatang-batang rokok ia habiskan waktu itu.
"tunggu sebentar," katanya. kemudian ia menuju ke bagian dalam rumah dan tidak pernah kembali lagi ke ruang tamu.
demikianlah, saya ditinggal di rumahnya sendiri. dan itu tidak terjadi hanya sekali-dua kali.
rumah itu kerap ramai dengan pesta-pesta yang diadakannya. saya pernah mengunjungi pestanya pada suatu minggu siang. ia menyambut para tamu sambil memamerkan senyuman khasnya dan sesekali tertawa, namun kepada saya ia hanya tersenyum sopan sambil menjabat tangan saya.
setelah itu, ia kembali duduk di bangku teras untuk menyalakan rokok dan memainkan gitarnya. raut wajahnya terlihat berbeda. ia mengabaikan tamu-tamunya di pestanya sendiri.
sejujurnya saya tidak begitu menyukai tuan rumah antik. ia sering mengabaikan orang-orang di sekitarnya. gaya bicaranya teramat yakin, namun berbelit-belit sehingga tidak ada perkataannya yang betul-betul dapat dipercaya.
namun, dari obrolan-obrolan singkat kami di ruang tamunya, saya tau ada kebaikan yang dimilikinya walaupun hanya sedikit. ada kesepian yang dideritanya dari nada-nada yang ia mainkan tiap sore.
sampai saat ini, tuan rumah antik masih menjadi misteri terbesar buat saya. rumahnya, penampilannya, perilakunya... semuanya masih terasa begitu asing. kini saya jarang—bahkan nyaris tidak pernah—mampir lagi ke ruang tamunya untuk mengobrol.
sekali waktu saya kembali melewati rumahnya, ia duduk di atap, dengan rokok dan gitar yang setia menemaninya. ia melihat saya, namun tidak melambaikan tangannya dengan bersemangat lalu mempersilakan saya bertamu seperti biasanya. ia hanya tersenyum simpul, lalu kembali memainkan nada-nada sendu dari gitarnya.
tingkahnya memang menyebalkan dan sulit ditebak, namun saya selalu percaya bahwa ada suatu kebaikan yang dimilikinya. saya selalu memercayai itu. dan sejujurnya, saya merindukan senyumannya yang lucu. tapi saya harus pergi sekarang.
sampai jumpa lagi, tuan rumah antik.
atap rumahnya rata. pagar rumahnya terbuat dari kayu cemara yang dicat merah bata. dinding rumahnya berwarna putih dengan cipratan cat warna-warni. rumputnya hijau dan terpangkas rapi, dan ada jalan setapak dari bebatuan. lalu terdapat sebuah bangku panjang di terasnya.
tuan rumah antik, begitu saya menyebutnya. selain rumahnya, tingkah lakunya juga cukup antik.
saya jarang melewati rumahnya di masa-masa saya baru pindah. ketika saya melewati rumahnya pada suatu sore, ia sedang duduk sendirian di teras, sibuk bermain gitar. ada rokok yang terselip di bibirnya.
petikan gitar masih mengalun pelan bahkan setelah saya melewati rumah itu. nada-nada yang menyenangkan namun terdengar sepi.
sejak saat itu, saya sering menyempatkan diri untuk melewati rumahnya dalam perjalanan pulang ke rumah saya. suatu kali ia pernah mengundang saya ke rumahnya, karena menurutnya saya adalah wajah yang baru dilihatnya.
ia mempersilakan saya duduk di ruang tamu. dengan penuh kecanggungan, mata saya berkeliling untuk memerhatikan caranya menata ruangan. catnya berwarna jingga. ada banyak sekali perabotan tua di situ.
kami mengobrol sebentar. ia sering tersenyum di sela-sela obrolan kami, sebuah senyuman yang lucu. berbatang-batang rokok ia habiskan waktu itu.
"tunggu sebentar," katanya. kemudian ia menuju ke bagian dalam rumah dan tidak pernah kembali lagi ke ruang tamu.
demikianlah, saya ditinggal di rumahnya sendiri. dan itu tidak terjadi hanya sekali-dua kali.
rumah itu kerap ramai dengan pesta-pesta yang diadakannya. saya pernah mengunjungi pestanya pada suatu minggu siang. ia menyambut para tamu sambil memamerkan senyuman khasnya dan sesekali tertawa, namun kepada saya ia hanya tersenyum sopan sambil menjabat tangan saya.
setelah itu, ia kembali duduk di bangku teras untuk menyalakan rokok dan memainkan gitarnya. raut wajahnya terlihat berbeda. ia mengabaikan tamu-tamunya di pestanya sendiri.
sejujurnya saya tidak begitu menyukai tuan rumah antik. ia sering mengabaikan orang-orang di sekitarnya. gaya bicaranya teramat yakin, namun berbelit-belit sehingga tidak ada perkataannya yang betul-betul dapat dipercaya.
namun, dari obrolan-obrolan singkat kami di ruang tamunya, saya tau ada kebaikan yang dimilikinya walaupun hanya sedikit. ada kesepian yang dideritanya dari nada-nada yang ia mainkan tiap sore.
sampai saat ini, tuan rumah antik masih menjadi misteri terbesar buat saya. rumahnya, penampilannya, perilakunya... semuanya masih terasa begitu asing. kini saya jarang—bahkan nyaris tidak pernah—mampir lagi ke ruang tamunya untuk mengobrol.
sekali waktu saya kembali melewati rumahnya, ia duduk di atap, dengan rokok dan gitar yang setia menemaninya. ia melihat saya, namun tidak melambaikan tangannya dengan bersemangat lalu mempersilakan saya bertamu seperti biasanya. ia hanya tersenyum simpul, lalu kembali memainkan nada-nada sendu dari gitarnya.
tingkahnya memang menyebalkan dan sulit ditebak, namun saya selalu percaya bahwa ada suatu kebaikan yang dimilikinya. saya selalu memercayai itu. dan sejujurnya, saya merindukan senyumannya yang lucu. tapi saya harus pergi sekarang.
sampai jumpa lagi, tuan rumah antik.