Sunday, January 26, 2014

Lelaki di Seberang Rumah

semenjak lelaki itu pindah ke seberang rumah saya, ia telah menarik perhatian saya.
rumahnya tidak begitu besar, tetapi kelihatan menarik. jendela-jendelanya besar, halamannya tertata rapi, pagar kayunya dipelitur mengilap.

saya suka memerhatikan rumahnya dari balik jendela saya. ada banyak orang yang keluar-masuk rumahnya, bahkan ada juga seorang perempuan yang sudah beberapa kali mampir ke sana lalu tinggal selama beberapa minggu. perempuan itu terlihat sibuk membawa barang-barangnya pergi dengan kesal terakhir kali saya melihatnya. setelah itu, saya tidak pernah lagi melihatnya singgah.

kami tinggal berseberangan, namun kami tidak pernah saling singgah ke rumah masing-masing. kami hanya sesekali berpapasan dari balik pagar rumah masing-masing, lalu saling melemparkan senyum. itu saja.

kami tinggal berseberangan, akan tetapi saya tahu bahwa saya tidak akan punya kesempatan untuk bertamu. dulu saya berpikir ia terlalu angkuh, sehingga saya memutuskan untuk tetap tinggal di dalam rumah saya.
supaya saya tidak perlu melihat rumah itu lagi, saya membangun sebuah pagar tinggi yang terbuat dari batu bata.
sebuah tembok.
saya menutupi rumah saya dengan tembok batu. dengan begitu, saya tidak perlu melihatnya ataupun rumahnya lagi. dengan begitu saya tidak perlu berharap suatu saat nanti ia akan mempersilakan saya bertamu.

tembok itu berdiri kokoh selama bertahun-tahun. meski kelihatannya saya seperti terkurung di dalam, namun sebetulnya saya merasa lebih bebas. saya merasa aman di balik tembok. saya bebas melakukan apa yang saya mau tanpa harus mengetahui apa yang terjadi di luar.
paling tidak, saya tidak perlu memerhatikan rumahnya lagi sambil berharap-harap cemas. harapan-harapan yang tidak akan pernah tercapai.

sampai suatu hari seseorang mengetuk tembok batu itu. saya melongokkan kepala dari balik jendela yang saya buat. rupanya itu adalah lelaki yang tinggal di seberang rumah saya.
"bolehkah saya mampir?" katanya.
saya hanya menatapnya dengan ragu.
ia tersenyum dengan tatapan penuh harap. "ayolah."

akhirnya saya mempersilakan dirinya untuk singgah ke rumah saya. saya menjamunya dengan kue-kue dan secangkir teh.
"dari dulu saya ingin sekali main ke rumahmu, tapi saya pikir kamu terlalu penyendiri sehingga tidak menerima orang lain," akunya.
ia mengagumi cara saya menata seisi rumah. yang amat disayangkan baginya adalah tembok besar yang mengelilingi halaman rumah saya.
"kenapa sih kamu membangun tembok? itu hanya akan menghalangi orang-orang yang ingin melihat keindahan rumahmu. runtuhkanlah tembok itu."
"memangnya ada yang mau mampir ke rumah saya?"
lelaki itu tersenyum lagi. "ada, banyak sekali."

kemudian tiba waktunya untuk pamit. ia berterima kasih pada saya atas jamuannya. ia juga mengundang saya mampir ke rumahnya suatu hari.

sejak saat itu, kami sering berinteraksi. saya tidak pernah mengira bisa sedekat ini dengan seseorang yang saya pikir begitu jauh dari jangkauan saya. saya merasa senang.
tembok batu yang saya bangun perlahan-lahan mulai runtuh. angin segar dan sinar matahari kembali memasuki rumah saya. saya tidak perlu lagi mengintip dari celah-celah untuk melihat pemandangan di luar. semuanya kembali seperti semula.

beberapa saat kemudian, saya hendak berkunjung ke rumahnya seperti biasa. namun, rumah itu kosong. saya menunggu sampai larut malam.
lelaki itu tidak muncul juga.

saya lelah menunggu dan memutuskan untuk pulang, kemudian barulah ia muncul. ia agak terkejut melihat saya.
"maaf..." katanya. "mungkin untuk sementara kamu tidak bisa mampir. saya sedang sibuk."
tidak ada senyumannya yang biasa ia tunjukkan. ia lalu memasuki rumahnya tanpa berkata apa-apa lagi.

hanya segitu saja pertemanan saya dengan lelaki yang tinggal di seberang rumah.


keesokan harinya, saya melihat banyak orang yang bertamu ke rumahnya. ia sempat melihat saya, namun ia hanya tersenyum sekilas lalu membuang muka.
saya menatap tembok batu yang saya buat bertahun-tahun lalu. kini tembok itu hanya tersisa separuh.
ia alasan saya membangunnya, dan ia juga alasan saya meruntuhkannya. kini saya ingin membangunnya lagi, juga karena dia.

kenapa sih kamu membangun tembok?

tembok itu memang menghalangi sinar matahari dan angin yang ingin masuk. tembok itu juga mempersulit saya untuk melihat ke luar. tetapi, saya merasa lebih tentram di balik tembok itu.

paling tidak, tembok itu melindungi saya dari rasa sakit hati.