Rasanya tempat ini terlalu besar untuk disebut sebagai minimarket.
Saya masih di sini, duduk berpangku tangan sendirian menghadap kaca, menatap jalanan yang mulai senyap.
"Selamat malam, selamat datang di minimarket."
Malam-malam begini masih saja ada yang mampir ke sini.
Berbelanja.
Nongkrong.
Mengerjakan tugas.
Sepertinya mengunjungi minimarket kini menjadi lebih dari sekadar keperluan.
Bunyi mesin kasir dan orang-orang yang berlalu-lalang datang dan pergi menjadi hiburan audio visual saya malam ini.
Hanya ada satu orang yang masih setia duduk di tempat ini. Ia sudah duduk di bangku itu sebelum saya datang. Ia hanya berjarak tiga bangku dari saya. Seperti saya, ia juga berhadapan dengan jalanan. Yang memisahkan kami hanyalah sebuah pilar semen.
Ting. Ting. Ting.
"Totalnya tigapuluh ribu lima ratus Rupiah. Terima kasih sudah berbelanja di minimarket."
Seorang karyawan di belakang saya sibuk mengepel lantai. Bau pembersih lantainya enak. Setidaknya itu mengurangi rasa jengkel di hati saya.
Tiga orang remaja dengan dandanan trendi berkumpul di sebuah meja di dekat sang lelaki. Mereka mengobrol dan tertawa-tawa. Salah satu dari mereka mengeluarkan ponsel pintarnya dan bersiap untuk menangkap momen itu.
Momen di mana mereka berkumpul di sebuah minimarket.
Sang lelaki tidak beranjak sedikitpun dari bangkunya. Entah apa yang sedang dikerjakan tangannya di balik pilar semen itu. Entah apa pula yang menahannya untuk pergi. Mungkin ia memiliki alasan yang sama dengan saya untuk berada di sini—menunggu.
Sepasang suami istri memasuki toko. Mereka mengamati makanan yang dipajang pada etalase sebelum memutuskan untuk membeli.
Sate ayamnya empat, nasinya dua.
Mau minumnya sekalian?
Ngga usah, mbak.
Totalnya duapuluh ribu Rupiah.
Ting. Ting. Ting.
Mereka pun pergi lagi.
Ia menenggak habis kopinya, bangkit dari bangkunya, lalu segera merapikan isi tasnya. Akhirnya sang lelaki memutuskan untuk pulang.
"Terima kasih sudah berbelanja di minimarket."
Kini hanya ada saya yang belum beranjak dari singgasana ini.
Masih menatap jalanan yang sekarang telah sunyi, saya menghela napas berat.
Saya suka sendirian, namun saya benci menunggu sendirian.
Saya benci merasa kesepian.
(Family Mart Pejaten, 22 Mei 2014)
Saya masih di sini, duduk berpangku tangan sendirian menghadap kaca, menatap jalanan yang mulai senyap.
"Selamat malam, selamat datang di minimarket."
Malam-malam begini masih saja ada yang mampir ke sini.
Berbelanja.
Nongkrong.
Mengerjakan tugas.
Sepertinya mengunjungi minimarket kini menjadi lebih dari sekadar keperluan.
Bunyi mesin kasir dan orang-orang yang berlalu-lalang datang dan pergi menjadi hiburan audio visual saya malam ini.
Hanya ada satu orang yang masih setia duduk di tempat ini. Ia sudah duduk di bangku itu sebelum saya datang. Ia hanya berjarak tiga bangku dari saya. Seperti saya, ia juga berhadapan dengan jalanan. Yang memisahkan kami hanyalah sebuah pilar semen.
Ting. Ting. Ting.
"Totalnya tigapuluh ribu lima ratus Rupiah. Terima kasih sudah berbelanja di minimarket."
Seorang karyawan di belakang saya sibuk mengepel lantai. Bau pembersih lantainya enak. Setidaknya itu mengurangi rasa jengkel di hati saya.
Tiga orang remaja dengan dandanan trendi berkumpul di sebuah meja di dekat sang lelaki. Mereka mengobrol dan tertawa-tawa. Salah satu dari mereka mengeluarkan ponsel pintarnya dan bersiap untuk menangkap momen itu.
Momen di mana mereka berkumpul di sebuah minimarket.
Sang lelaki tidak beranjak sedikitpun dari bangkunya. Entah apa yang sedang dikerjakan tangannya di balik pilar semen itu. Entah apa pula yang menahannya untuk pergi. Mungkin ia memiliki alasan yang sama dengan saya untuk berada di sini—menunggu.
Sepasang suami istri memasuki toko. Mereka mengamati makanan yang dipajang pada etalase sebelum memutuskan untuk membeli.
Sate ayamnya empat, nasinya dua.
Mau minumnya sekalian?
Ngga usah, mbak.
Totalnya duapuluh ribu Rupiah.
Ting. Ting. Ting.
Mereka pun pergi lagi.
Ia menenggak habis kopinya, bangkit dari bangkunya, lalu segera merapikan isi tasnya. Akhirnya sang lelaki memutuskan untuk pulang.
"Terima kasih sudah berbelanja di minimarket."
Kini hanya ada saya yang belum beranjak dari singgasana ini.
Masih menatap jalanan yang sekarang telah sunyi, saya menghela napas berat.
Saya suka sendirian, namun saya benci menunggu sendirian.
Saya benci merasa kesepian.
(Family Mart Pejaten, 22 Mei 2014)