tiap orang punya pendapat terhadap orang lain, termasuk saya. saya udah menerima mungkin ratusan opini dari teman-teman yang kenal baik dengan saya. meski begitu, opini mereka sepertinya bisa dirangkum dengan satu kalimat singkat: cemara, yang semangat dong.
gimana enggak. tiap saya ketemu mereka, yang mereka bilang ke saya adalah kalimat semacam saran seperti: "banyak makan buah sama minum vitamin gih biar ga lemes", "lo harus banyak minum air putih", "kurang-kurangin pergi sendiriannya", "bawah mata lo item banget. lo kurang tidur ya?", atau yang paling simpel: "cem, tidur." (dan biasanya kalimat terakhir diucapkan dengan nada penuh ketegasan tapi juga sekaligus penuh kelembutan)
saya pertama kali menerima saran semacam itu sewaktu saya menginjak kelas 2 SMP. ga nyangka juga bakal berlanjut sampe sekarang.
respon saya yang paling umum sih cuma iya-iya aja sambil cengengesan, abis itu melipir pergi.
bahkan pernah suatu kali saya lagi bener-bener diem ngeliatin jam tanpa ada masalah yang dipikirin, seorang teman nyamperin saya dan langsung nanya tanpa tedeng aling-aling, "cem, ada masalah apa?"
lah.
pendapat orang lain mengenai diri kita juga bisa sangat membingungkan. wajah saya cuma satu, tapi bisa menghasilkan persepsi yang bertolak belakang bagi beberapa orang. ada yang bilang muka saya judes, ada yang bilang saya suka senyum-senyum sendiri, ada yang bilang muka saya ngawang (kalo yang ini secara pribadi saya setuju), dan malah ada yang bilang muka saya datar, ga ada ekspresinya. kayaknya besok-besok saya mesti pake topeng full face ke mana-mana supaya ga dikomentarin lagi.
ada juga masa-masa di mana kita mulai mencoba-coba berbagai hal untuk mencari identitas diri. mulai dari penampilan, gaya berbicara, sikap, ya pokoknya apapun itu. semuanya demi eksistensi diri. saya juga mengalami fase itu. dan sejauh ini saya merasa nyaman dengan diri saya yang sekarang. orang-orang di sekitar saya awalnya aneh dengan perubahan saya, tapi lama-lama mereka jadi terbiasa dan memaklumi itu.
kalian pasti tau kata-kata bijak yang kira-kira isinya begini: yang bisa menilai diri kita, ya cuma diri kita sendiri. bener juga sih. buat apa peduli apa kata orang, kalo toh cuma kita yang bisa merasakan itu. saya berpegang cukup teguh terhadap kata-kata itu...
sampai pada suatu malam, seseorang menghampiri saya.
kami memang jarang bercengkerama sebelumnya. tapi, yang saya tau, saya merasa diperhatikan oleh orang itu. jadi tiba-tiba dia bilang begini, "lo berubah ya sekarang."
lagi-lagi saya cuma cengengesan. "berubah gimana tuh?"
"iya, berubah. dulu gue liat penampilan lo ngga kaya gini. dulu lo keliatan lebih feminin, lebih manis. di tempat ini jarang ada yang kayak lo dengan penampilan seperti itu. dan gue akui, dulu gue sempet tertarik sama lo."
saya tau betul dia sedang mabuk saat itu. denger-denger sih, omongan ketika mabuk adalah isi pikiran yang sebenernya. maka saya mulai mencoba menyimak.
"emmm, emangnya sekarang gue kayak gimana?"
"sekarang gue liat lo seperti melebur dengan lingkungan sekitar... jadi ga jauh beda dengan yang lain."
cengengesan saya berkurang, berubah menjadi senyuman kecut.
"masa sih?"
"beneran. gue liat udah banyak temen-temen gue yang seperti itu supaya bisa melebur—termasuk gue sendiri, tapi nyatanya mereka malah ngga nyaman dengan diri mereka. terlalu dibuat-buat."
saya terdiam.
"yah, mungkin gue salah. mudah-mudahan aja lo nyaman dengan diri lo yang sekarang."
kemudian ia pergi.
omongannya yang tiba-tiba itu membuat saya memikirkan lagi prinsip yang saya pegang. (sekaligus bertanya-tanya dalam hati, kenapa sih akhir-akhir ini saya suka termenung gara-gara omongan orang mabuk?)
memang benar bahwa cuma kita yang bisa menilai diri kita sendiri. tapi, ketika ada seseorang dari lingkungan sekitar saya yang tiba-tiba bilang kalau saya berubah, mau ga mau saya pasti akan kepikiran juga. apalagi kalau perubahan itu bisa dibilang bukan dalam konteks yang baik. sekecil apapun itu, rasanya tetap mengusik.
gimana enggak. tiap saya ketemu mereka, yang mereka bilang ke saya adalah kalimat semacam saran seperti: "banyak makan buah sama minum vitamin gih biar ga lemes", "lo harus banyak minum air putih", "kurang-kurangin pergi sendiriannya", "bawah mata lo item banget. lo kurang tidur ya?", atau yang paling simpel: "cem, tidur." (dan biasanya kalimat terakhir diucapkan dengan nada penuh ketegasan tapi juga sekaligus penuh kelembutan)
saya pertama kali menerima saran semacam itu sewaktu saya menginjak kelas 2 SMP. ga nyangka juga bakal berlanjut sampe sekarang.
respon saya yang paling umum sih cuma iya-iya aja sambil cengengesan, abis itu melipir pergi.
bahkan pernah suatu kali saya lagi bener-bener diem ngeliatin jam tanpa ada masalah yang dipikirin, seorang teman nyamperin saya dan langsung nanya tanpa tedeng aling-aling, "cem, ada masalah apa?"
lah.
pendapat orang lain mengenai diri kita juga bisa sangat membingungkan. wajah saya cuma satu, tapi bisa menghasilkan persepsi yang bertolak belakang bagi beberapa orang. ada yang bilang muka saya judes, ada yang bilang saya suka senyum-senyum sendiri, ada yang bilang muka saya ngawang (kalo yang ini secara pribadi saya setuju), dan malah ada yang bilang muka saya datar, ga ada ekspresinya. kayaknya besok-besok saya mesti pake topeng full face ke mana-mana supaya ga dikomentarin lagi.
ada juga masa-masa di mana kita mulai mencoba-coba berbagai hal untuk mencari identitas diri. mulai dari penampilan, gaya berbicara, sikap, ya pokoknya apapun itu. semuanya demi eksistensi diri. saya juga mengalami fase itu. dan sejauh ini saya merasa nyaman dengan diri saya yang sekarang. orang-orang di sekitar saya awalnya aneh dengan perubahan saya, tapi lama-lama mereka jadi terbiasa dan memaklumi itu.
kalian pasti tau kata-kata bijak yang kira-kira isinya begini: yang bisa menilai diri kita, ya cuma diri kita sendiri. bener juga sih. buat apa peduli apa kata orang, kalo toh cuma kita yang bisa merasakan itu. saya berpegang cukup teguh terhadap kata-kata itu...
sampai pada suatu malam, seseorang menghampiri saya.
kami memang jarang bercengkerama sebelumnya. tapi, yang saya tau, saya merasa diperhatikan oleh orang itu. jadi tiba-tiba dia bilang begini, "lo berubah ya sekarang."
lagi-lagi saya cuma cengengesan. "berubah gimana tuh?"
"iya, berubah. dulu gue liat penampilan lo ngga kaya gini. dulu lo keliatan lebih feminin, lebih manis. di tempat ini jarang ada yang kayak lo dengan penampilan seperti itu. dan gue akui, dulu gue sempet tertarik sama lo."
saya tau betul dia sedang mabuk saat itu. denger-denger sih, omongan ketika mabuk adalah isi pikiran yang sebenernya. maka saya mulai mencoba menyimak.
"emmm, emangnya sekarang gue kayak gimana?"
"sekarang gue liat lo seperti melebur dengan lingkungan sekitar... jadi ga jauh beda dengan yang lain."
cengengesan saya berkurang, berubah menjadi senyuman kecut.
"masa sih?"
"beneran. gue liat udah banyak temen-temen gue yang seperti itu supaya bisa melebur—termasuk gue sendiri, tapi nyatanya mereka malah ngga nyaman dengan diri mereka. terlalu dibuat-buat."
saya terdiam.
"yah, mungkin gue salah. mudah-mudahan aja lo nyaman dengan diri lo yang sekarang."
kemudian ia pergi.
omongannya yang tiba-tiba itu membuat saya memikirkan lagi prinsip yang saya pegang. (sekaligus bertanya-tanya dalam hati, kenapa sih akhir-akhir ini saya suka termenung gara-gara omongan orang mabuk?)
memang benar bahwa cuma kita yang bisa menilai diri kita sendiri. tapi, ketika ada seseorang dari lingkungan sekitar saya yang tiba-tiba bilang kalau saya berubah, mau ga mau saya pasti akan kepikiran juga. apalagi kalau perubahan itu bisa dibilang bukan dalam konteks yang baik. sekecil apapun itu, rasanya tetap mengusik.